Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI WONOSARI
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2022/PN Wno EDI KURNIAWAN Satreskrim Resort Gunungkidul Unit I Pidsus Polres Gunungkidul DIY Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 22 Agu. 2022
Klasifikasi Perkara Lain-lain
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2022/PN Wno
Tanggal Surat Senin, 22 Agu. 2022
Nomor Surat 00
Pemohon
NoNama
1EDI KURNIAWAN
Termohon
NoNama
1Satreskrim Resort Gunungkidul Unit I Pidsus Polres Gunungkidul DIY
Kuasa Hukum Termohon
NoNamaNama Pihak
1ELVIANUS LAOLI, S.I.K., M.H. Dan RekanSatreskrim Resort Gunungkidul Unit I Pidsus Polres Gunungkidul DIY
Petitum Permohonan

 

Dengan Hormat,

Perkenankanlah kami:

FIRDHAUS SHOLIHIEN S.H., M.H. & MATHEUS NURLATU, S.H., M.H. kesemuanya adalah Advokat dan Konsultan Hukum pada “FIRDHAUS SHOLIHIEN & PARTNERS” yang beralamat di Jl. Tata Bumi Selatan, Banyuraden, Gamping, Kab. Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Telp. 085233389212, Email: advocaatfirdhauss@gmail.com. Dalam hal ini bertindak berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 18 Agustus 2022, baik secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama EDI KURNIAWAN, selanjutnya disebut sebagai PEMOHON —————————————————————

 

——————————–M E L A W A N——————————–

 

Satreskrim Polres Gunungkidul Unit I Pidsus Resort Gunungkidul D.I.Y., yang beralamat di Jl. Mgr. Sugiyo Pranoto No.15, Purwosari, Baleharjo, Kec. Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta 55851 selanjutnya disebut sebagai TERMOHON ————————————————————————————

Untuk mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Penetapan tersangka dalam dugaan tindak pidana Penggelapan dalam jabatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 374 sub Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh Polres Gunungkidul Satuan Reserse Kriminal unit I Pidsus resort Gunungkidul DIY.

 

Adapun yang menjadi alasan permohonan pemohon praperadilan adalah sebagai berikut:

I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

a.    Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.

b.    Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan:

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

1.    Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

2.    Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

3.    Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”

c.    Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

1.    sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;

2.    ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

d. Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.

e. Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :

1.    Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011;

2.    Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012;

3.    Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012;

4.    Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015;

5.    Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015;

6.    Dan lain sebagainya;

f. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

Mengadili,                                                                                                                              

Menyatakan :

1.    Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :

[dst]
[dst]
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

g. Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

  

2. TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN KLIEN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA

a.    Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam dugaan Penggelapan dalam Jabatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 374 Sub Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Polres Gunungkidul Satuan Reserse Kriminal unit 1 pidsus kepada klien Pemohon hanya berdasar pada 1 dokumen yang keabsahannya patut diragukan, hal ini berdasar pada surat penetapan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada klien Pemohon dengan Nomor S.Tap/19/VIII/2022/Reskrim tertanggal 08 Agustus 2022.

b.    Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP.

c.    Bahwa berdasar pada argumen-argumen sebelumnya, maka Pemohon Praperadilan meragukan terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Klien Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Penggelapan dalam jabatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 374 Sub Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Polres Gunungkidul Satuan Reserse Kriminal unit 1 pidsus kepada Klien Pemohon.

d.   Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan kepada Klien Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.

 

3. PENETAPAN KLIEN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM

Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terjawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikannya.
Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’
Bahwa dalam Hukum Administrasi Negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaimana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :

– ditetapkan oleh pejabat yang berwenang

– dibuat sesuai prosedur; dan

– substansi yang sesuai dengan objek Keputusan

Bahwa sebagaiman telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Klien Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang-undangan yang berlaku.

f.       Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :

·         “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”

·         Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan

g.      Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keuputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Klien Pemohon dengan menetapkan Klien Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri kelas II.B. Wonosari D.I.Y. yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Klien Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

 

4.  PETITUM

Berdasar pada argumen dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon Praperadilan memohon kepada Yang Mulia Hakim  (Tunggal) Pengadilan Negeri kelas II.B. Wonosari D.I.Y. yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut:

Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Klien Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan Penggelapan dalam Jabatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 374 Subs Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh Polres Gunungkidul Satuan Reserse Kriminal Unit I Pidsus adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka A Quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Klien Pemohon oleh Termohon;
Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Klien Pemohon;
Memulihkan hak Klien Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

Pemohon Praperadilan sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Mulia Hakim (Tunggal) Pengadilan Negeri kelas II.B. Wonosari D.I.Y., yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara A Quo dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.

Apabila Yang Mulia Hakim (Tunggal) Pengadilan Negeri kelas II.B. Wonosari D.I.Y. yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Pihak Dipublikasikan Ya